Beranda | Artikel
Syarhus Sunnah: Belajar Akidah, Agar Selamat dari Pemahaman Sesat
Rabu, 1 Agustus 2018

 


Di antara tujuan para ulama menulis kitab Akidah adalah untuk menyelamatkan umat dari pemahaman sesat. Inilah yang dijelaskan juga oleh Imam Al-Muzani ketika mengawali kitab akidah beliau.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

عَصَمَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِالتَّقْوَى وَوَفَقَنَا وَإِيَّاكُمْ لِمُوَافَقَةِ الْهُدَى

Semoga Allah menjaga kami dan kalian dengan takwa dan memberikan taufik kami dan kalian untuk (berjalan) sesuai petunjuk.

 

Ini adalah doa dari Imam Al-Muzani supaya kita dijaga oleh Allah dari maksiat dan kejelekan dengan bertakwa. Kalimat ‘ishmah dalam doa ini maksudnya adalah agar Allah menyelamatkan kita dari kejelekan. Juga dalam doa di atas, Imam Al-Muzani mendoakan supaya kita diberi petunjuk oleh Allah untuk mengamalkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-huda yang dimaksud dalam doa ini adalah syari’at Rasul.

Pengertian Takwa

 

Takwa secara bahasa berarti menjadikan pelindung. Secara istilah syar’i, takwa adalah menjadikan antara diri kita dan azab Allah pelindung dengan menjalan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan kita penjelasan menarik mengenai pengertian takwa. Beliau rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)

 

Hidayah Milik Allah

 

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,

أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah berkata,

يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

“Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthallib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Mutthalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ

“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah.”

Kemudian turunlah ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884)

Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan hidayah itu ada dua macam:

  1. Hidayah irsyad wa dalalah, maksudnya adalah hidayah berupa memberi petunjuk pada orang lain.
  2. Hidayah taufik, maksudnya adalah hidayah untuk membuat seseorang itu taat pada Allah.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّكَ أَصْلَحَكَ اللهُ سَأَلْتَنِي أَنْ أُوْضِحَ لَكَ مِنَ السُّنَّةِ أَمْرًا تُصَبِّرَ نَفْسَكَ عَلَى التَّمَسُّكِ بِهِ وَتَدْرَأُ بِهِ عَنْكَ شُبَهَ الْأَقَاوِيْلِ وَزِيْغَ مُحْدَثَاتِ الضَّالِّيْنَ وَقَدْ شَرَحْتُ لَكَ مِنْهَاجًا مُوَضَّحًا مُنِيْرًا لَمْ آلَ نَفسِي وَإِيَّاك فِيهِ نُصْحًا

Amma Ba’du.

Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya Anda telah meminta kepadaku untuk menjelaskan As-Sunnah dengan penjelasan yang membuat jiwa Anda bisa bersabar dalam berpegang teguh dengannya, dan dengan penjelasan tersebut bisa menolak ucapan-ucapan yang mengandung syubhat (kerancuan), dan penyimpangan orang-orang yang mengada-ada lagi sesat. Aku akan menjelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas dan terang benderang dengan sepenuh jiwa, moga sebagai nasihat untukku, juga Anda.

 

Muqaddimah ini maksudnya ada yang meminta kepada beliau untuk menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lantas beliau memenuhinya dengan menuliskan risalah ini.

Berpegang teguh dengan Sunnah itu butuh kesabaran dan berat untuk dijalankan.

Akidah ini butuh dijelaskan agar selamat dari berbagai pemikiran menyimpang dan dari berbagai bid’ah yang dibuat-buat oleh orang yang sesat. Beliau menjelaskan dengan sejelas-jelasnya manhaj (metode) beragama yang dimaksud. Yang diharapkan, hal ini sebagai nasihat untuk beliau dan juga yang membaca tulisan beliau.

 

Ucapan Amma Ba’du

 

Ucapan Amma Ba’du termasuk dalam fashlul khitab yang dimaksudkan dalam ayat yang membicarakan tentang Nabi Daud ‘alaihis salam,

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (QS. Shaad: 20).

Hikmah yang dimaksud di sini adalah Kitabullah dan mengikuti isinya, sebagaimana pendapat Qatadah. As-Sudi menyatakan hikmah yang dimaksud adalah nubuwwah (kenabian).

Abu Musa menyatakan bahwa kalimat “Amma Ba’du” pertama kali diucapkan oleh Daud ‘alaihis salam yaitu sebagai fashlul khitab, pemisah pembicaraan. Asy-Sya’bi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khitab adalah kalimat “Amma Ba’du”. Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.

Ucapan Amma Ba’du sendiri punya tujuan untuk masuk dalam materi yang dimaksud. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Khalid bin Mahmud Al-Juhani dalam penjelasan Syarhus Sunnah.

 

Penggunaan Istilah Sunnah

 

Pertama: Sunnah bisa maksudnya adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum dalam segala urusan beliau.

Menurut ulama hadits, sunnah adalah ucapan, perbuatan, persetujuan, hingga sifat fisik, dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan menurut ulama Ushul, sunnah adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Sunnah digunakan untuk lawan kata dari bid’ah.

Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut ahli sunnah.

Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah pernah ditanya, sebagian orang bertanya tentang Imam Malik bahwa ia menggabungkan sunnah dan hadits. Lalu apa perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Hadits?

Ibnu Ash-Shalah rahimahullah menjawab, “As-Sunnah di sini adalah lawan kata dari bid’ah. Bisa saja seorang menjadi ahli hadits namun ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’). Imam Malik—semoga Allah meridhai beliau—menggabungkan dua sunnah. Beliau itu paham masalah sunnah (hadits) dan keyakinan beliau adalah berpegang pada kebenaran (bukan berpegang pada bid’ah). Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibnu Ash-Shalah, 1:139-140)

Ketiga: Sunnah berarti dianjurkan, yaitu lawan dari wajib. Istilah ini digunakan oleh para fuqaha (pakar fikih).

Keempat: Istilah As-Sunnah bisa dimaksud juga adalah akidah. Seperti yang disebut dalam muqaddimah Imam Al-Muzani di sini. Di sini akidah disebut dengan sunnah karena tidak ada ruang bagi akal untuk masuk dalam masalah akidah.

 

Sabar Berpegang Teguh pada Sunnah Nabi

 

Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Sabar secara istilah syar’i berarti menahan hati dari murka, menahan lisan dari banyak mengeluh, dan menahan anggota badan dari berbuat yang melampaui batas.

Sabar sendiri ada tiga yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari berbuat maksiat kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi ujian (cobaan) dari Allah.

Kenapa kita mesti bersabar ketika menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hal ini diterangkan dalam hadits-hadits berikut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi, no. 2260. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali lagi dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’, lalu beliau menjawab, “(Ghuroba atau orang yang terasing adalah) mereka yang memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad, 4:74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dha’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad, 1:184 dari Sa’ad bin Abi Waqqash dengan sanad jayyid)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Beruntunglah orang-orang yang terasing.” “Lalu siapa orang yang terasing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” (HR. Ahmad, 2: 177. Hadits ini hasan lighairihi, kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

 

Tugas Muslim, Saling Menasihati

 

Dari muqaddimah di atas, diajarkan pula untuk saling menasihati.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُوَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim, no. 2162)

 

Wallahu waliyyut taufiq, semoga Allah beri petunjuk.

 

Referensi:

  1. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  2. Tamam Al-Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani.Khalid bin Mahmud Al-Juhani. alukah.net.
  3. Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 145520, https://islamqa.info/ar/145520.

Diselesaikan pada perjalanan di Jogja, sore 18 Dzulqa’dah 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/18233-syarhus-sunnah-belajar-akidah-agar-selamat-dari-pemahaman-sesat.html